Oleh : Alfiah, S.Si
AKHIRNYA Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengumumkan daftar peserta Pemilu pada Rabu (14/12/2022). Ada sebanyak 17 partai politik (parpol) yang dinyatakan lolos sebagai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Di antara 17 parpol yang lolos itu terdiri dari 9 partai parlemen dan 8 partai non parlemen. Sementara itu, terdapat satu parpol yang tidak lolos sebagai peserta Pemilu 2024 yakni Partai Ummat (detiknews.com, 15/12/2022)
Namun, beberapa partai yang dinyatakan tidak memenuhi syarat menuding KPU tidak transparan dalam menjalankan proses seleksi. Dugaan kecurangan turut mewarnai polemik. Terkait hal ini, Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustiyanti mengatakan syarat-syarat yang mesti dipenuhi sebuah partai untuk bisa ikut ke dalam pemilu memang cukup berat karena harus “langsung bersifat nasional” dan “butuh modal finansial yang besar”. Kondisi ini jelas menguntungkan parta-partai yang sudah mapan. Di samping itu, partai mapan memiliki tingkat dukungan yang stabil.
Sementara, pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Mada Sukmajati menyatakan bahwa kehadiran partai-partai baru dinilai perlu. Menurut Mada, terutama jika partai-partai itu menawarkan konsep yang menuntut perubahan, misalnya perubahan konstelasi ekonomi atau sosial. Hanya saja, jelas Mada, memang akan sangat disayangkan jika partai-partai baru itu tidak memiliki tawaran konteks yang mendesak maupun gambaran alternatif kebijakan baru. Terlebih jika tidak punya sama sekali atau kabur opsi-opsi kebijakannya. Pasalnya, menurut Mada, partai-partai baru yang ada saat ini biasanya hanya hasil dari konflik. Artinya tidak memiliki visi dan misi partai yang jelas.
Belum lagi tren pola narasi di media sosial terkait Pemilu 2024 dinilai menunjukkan peta yang mirip dengan Pemilu 2019. Direktur Eksekutif Yayasan Tifa, Shita Laksmi, khawatir jika Pemilu 2024 akan kembali diisi dengan berbagai praktik buruk politik yang menciptakan polarisasi di masyarakat. Terutama dengan meningkatnya pengaruh informasi melalui media sosial, yang di dalamnya juga terdapat berita bohong, disinformasi, atau misinformasi. Selain itu, didukung juga dengan adanya pelemahan terhadap ruang publik dan kebebasan bersuara, serta semakin terbukanya celah praktik oligarki.
Menurut survei Litbang Kompas tentang situasi politik nasional, mayoritas responden menilai buzzer/influencer yang provokatif bisa menciptakan polarisasi politik di masyarakat memanas. Sebanyak 21,6% responden lain menilai polarisasi politik bisa meruncing, karena penyebaran informasi yang tidak lengkap atau hoaks, 13,4% karena kurangnya peran tokoh bangsa dalam meredakan perselisihan, dan 5,8% karena media sosial.
Adanya pencatutan 20ribuan NIK warga untuk peserta Pemilu juga menambah sengkarut persiapan Pemilu. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI menemukan lebih dari 20 ribu identitas warga dicatut menjadi kader partai dalam proses pendaftaran partai politik peserta Pemilu 2024. Lebih parahnya, tiga ribu di antaranya lolos ketika KPU melakukan verifikasi faktual keanggotaan partai politik (republika.co.id, 26/12/2022)
Sesungguhnya sistem multipartai dalam demokrasi tidak ubahnya buah simalakama dan sangat jauh dari hakikat perjuangan politik yang sejati. Urusan rakyat yang semestinya mewarnai visi-misi perjuangan politik, menguap begitu saja ketika kampanye telah usai. Partai yang seharusnya menjadi kanalisasi suara rakyat berubah menjadi kanalisasi kepentingan korporat ketika partai menang dalam kontestasi Pemilu.
Jika Pemilu hanya menghabiskan energi dan anggaran, sementara pemenang Pemilu jauh-jauh hari sudah ditetapkan, betapa sia-sia energi rakyat. Bahkan realitas Pemilu sebelumnya menunjukkan, bagaimana rakyat berpeluh dan bersimbah darah sampai meregang nyawa demi capres pujaannya. Sementara junjungan yang dibela justru berpelukan dengan mesra seakan tak peduli dengan pengorbanan para pemilihnya. Alih-alih terwujud perubahan yang mereka rindukan, ujung drama pemilu hanya bagi-bagi kue kekuasaan.
Rakyat seharusnya belajar dari pengalaman betapa culasnya demokrasi. Dalam demokrasi, multipartai dan pemilu hanya kendaraan politik untuk meraih suara. Hal ini demi mencapai kekuasaan dan bagi-bagi kue jabatan untuk lingkaran koalisi. Arus deras kapitalisme ditambah penjagaannya oleh sistem demokrasi, cepat atau lambat akan membuat para politisi dan aktivis partai turut menjadi agen dan pelumas kebijakan sekuler dan zalim. Lagi-lagi, kepentingan rakyat jelas tergadai.
Semua ini menegaskan bahwa multipartai dalam demokrasi hanya sebagai pertarungan para korporat. Partai justru dijadikan sebagai kanalisasi kepentingan kapital, bukan representasi suara rakyat. Sehingga wajar rakyat sering dikecewakan dengan berbagai kebijakan dan undang-undang yang disahkan DPR. Sementara kapital malah diuntungkan.
Disinilah pentingnya memahami hakikat multipartai yang benar, yakni sebagaimana firman Allah Taala, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran [3]: 104).
Ayat ini adalah rambu-rambu utama mengenai multipartai di tengah masyarakat. Keberadaan multipartai adalah sesuatu yang alami. Partai dibutuhkan sebagai penyambung lidah rakyat. Kritik dan saran partai dibutuhkan penguasa dalam mengambil kebijakan. Kritik tak boleh dianggap sebagai ancaman atau serangan kepada penguasa.
Rasulullah saw. pernah bersabda, “Penghulu syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthallib; dan orang yang berkata di hadapan seorang penguasa yang zalim, lalu ia memerintahkannya (pada yang makruf) dan melarangnya (dari yang mungkar), kemudian penguasa itu membunuhnya.” (HR Hakim).
Seyogyanya, strategi dakwah politik beserta aktivitas muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa) dan perjuangan melanjutkan kehidupan Islam tidak boleh berhenti. Hanya aktivitas dakwah politik sebagaimana firman Allah dan sabda Rasulullah saw. di ataslah yang layak diikuti dan diperjuangkan. Itulah jalan perjuangan hakiki. ***
Penulis pegial literasi Islam
Posting Komentar