Oleh : Yenni Sarinah, S.Pd
BERAWAL dari krisis energi akibat pecah
perang antara Ukraina dan Rusia. Kini berlanjut kepada masalah inflasi dan
ancaman resesi. Benarkah kehadiran Presidensi G-20 membawa manfaat bagi
Indonesia, ataukah Indonesia justru sedang dimanfaatkan oleh negara pengusung
peradaban kapitalistik?
Untuk menghindari kekuatan Kapitalisme
runtuh dengan sendirinya, negara pengusung ide kapitalisme ini merangkul
beberapa negara dalam Group of Twenty (G20) yang anggotanya terdiri dari 8
negara maju (Kanada, Inggris, Amerika Serikat, Italia, Prancis, Jerman, Jepang
dan Rusia) dan 12 negara berkembang lainnya (Afrika Selatan, Argentina, Arab
Saudi, Australia, India, Brazil, Indonesia, Meksiko, Republik Korea, Tiongkok,
Uni Eropa, dan Turki).
Judul berita G-20 bakal sumbang PDB Rp.7,5
Triliun, pada portal berita online Jawa Pos, ternyata adalah bagian dari opini
Luhut yang memandang dari sisi ekonomi, dampak multiplier effect kontribusi G20
akan mencapai USD 533 juta atau sekitar Rp 7,5 triliun terhadap produk domestik
bruto (PDB) Indonesia pada 2022, yang sebagian besar akan berputar di Bali.
(jawapos.com, 13/11/2022)
Harapan ini seakan-akan melupakan fakta
bahwa nilai tukar rupiah sepanjang tahun ini justru terus merosot sekitar 8%,
bahkan sebelumnya sempat menembus ke atas Rp 15.700/US$. (cnbcindonesia.com,
14/11/2022)
Secara kumulatif, negara-negara yang
tergabung dalam G-20 diperkirakan menguasai sekitar 90 % produk domestik bruto
(PDB) ekonomi dunia, 80 % volume perdagangan dunia, dan ini merepresentasikan
keadaan ekonomi di dua pertiga populasi penduduk dunia. Yang artinya, kekuatan
ekonomi negara G-20 mencerminkan kekuatan pasar dan arus lalu lintas
perdagangan barang dan jasa terbesar di dunia.
Namun demikian, G-20 bukan sebuah
organisasi internasional yang memiliki legitimasi formal dan tidak memiliki
sistem administrasi yang baku seperti Bank Dunia, IMF, ADB, atau WTO.
Kepemimpinan G-20 digilir di antara peserta yang disebut dengan istilah
presidensi.
Tugas presidensi adalah menyelenggarakan
pertemuan-pertemuan selama satu tahun bertugas. Tahun 2022 ini Indonesia
mendapatkan giliran sebagai petugas presidensi G-20 terhitung sejak tanggal 1
Desember 2021 sampai 22 November 2022 nanti.
Dengan tidak memiliki sekretariat tetap,
tentu sulit diharapkan suatu aksi yang solid dengan satu tujuan yang bermanfaat
secara nyata untuk semua. Kalaupun di forum G-20 ada kesepakatan bersama, itu
hanya akan menjadi pernyataan viral sesaat yang tidak memiliki langkah konkrit
dan tidak pula mengikat negara anggota G-20.
Contoh sederhana saja, ketika kelompok G-20
menyumbang 80 % dari total emisi dunia. Mereka paham benar, bahwa hal ini
bagian dari kesepakatan untuk mengatasi perubahan iklim, termasuk janji
masing-masing negara anggota untuk mengurangi emisi dan kandungan berbahaya bagi
lingkungan.
Bagaimana langkah konkrit pengurangan emisi
di masing-masing negara? Tidak ada! Justru negara-negara yang terhimpun di G-20
menjadi negara terdepan dalam peningkatan aktivitas atau ekspansi industri yang
berdampak buruk terhadap lingkungan. Dan salah satu lahan produktif untuk
ekspansi industri ini adalah Indonesia.
Kapitalisme Kental Di Forum G-20
Melansir dari mediaumat.id, Ekonom Dr.
Danial, M.M. menyatakan Forum G-20 adalah bagian dari instrumen kapitalisme
dunia sebagaimana pernyataannya dalam acara Kajian Ekonomi Islam: Untung Rugi
Indonesia di G-20, Selasa (9/11/2021) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn.
Persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini
adalah tingginya kemiskinan, kerawanan atas berbagai konflik sosial, dan
lain-lain. Sedangkan keberadaan Indonesia sebagai Presidensi G-20 nyaris
seperti Event Organizer (EO) yang melayani kepentingan negara besar.
Kalaulah diklaim mendapatkan keuntungan
ekonomi, apakah benar keuntungan itu dirasakan oleh rakyat secara luas? Dan bukan hanya sesaat saja? Karena
faktanya Indonesia hanyalah menjadi pasar bagi negara maju.
Indonesia yang dikenal dunia sebagai zamrud
Khatulistiwa dan memiliki kekayaan alam yang luar biasa seakan sudah akrab
dengan persoalan ekonomi dan lingkungan.
Namun hal ini terbentur dengan data resmi
statistik tahun 2021 yang merilis :
Pertama,
jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 29,3 juta penduduk.
Kedua, Jumlah pengangguran mencapai 10 juta
penduduk.
Ketiga, utang Rp 7000 Triliun.
Keempat, aset kekayaan alam yang dikuasai
oleh swasta lokal maupun multinasional.
Kelima, Jurang kaya-miskin di negeri ini
juga sangat buruk. Berdasarkan keterangan Sri Mulyani, empat orang terkaya
memiliki kekayaan setara dengan 100 juta penduduk.
Kapitalisme Sistem Yang Buruk
Fakta bahwa Kapitalisme ini buruk karena :
Pertama, terlahir dari akal manusia yang
terbatas.
Kedua, dasar aqidahnya juga rusak dengan
mengusung sekularisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan.
Ketiga, tidak sesuai fitrah manusia,
dikarenakan disatu sisi mengakui keberadaan tuhan, tapi disisi lain kapitalisme
ini menjadikan manusialah yang dianggap layak untuk menetapkan aturan hidup.
Keempat, tujuan tertinggi sebagai tolok
ukur kebahagiaan berstandar pada pemuasan akan material (jasadiyah).
Kelima, dasar perekonomiannya berada di
tangan para pemilik modal. Sehingga setiap orang bebas menempuh cara apa saja.
Tidak dikenal sebab-sebab kepemilikan sehingga jumlah kepemilikan pun dimiliki
tanpa batasan. Parahnya lagi, budaya saling tikung, saling tipu adalah menjadi
hal biasa bagi mereka.
Keenam, dalam politik dan ekonomi,
kemakmuran negara dan kesejahteraan individu tidak real dan hanya diukur dengan
perkiraan rata-rata saja.
Ketujuh, sumber hukumnya berasal dari akal
manusia yang memungkinkan terjadinya perbedaan, perselisihan, pertentangan
hingga kesengsaraan.
Kedelapan, metode penerapan hukum, melalui
kewenangan negara yang didasarkan pada kebebasan individu. Sedangkan negara
hadir sebagai penjamin kebebasan individu yang justru kebebasan ini berbenturan
dengan fitrah dan justru memicu pertikaian.
Kesembilan, kewenangan membuat hukum
didasarkan atas asas manfaat, hingga mereka hadir dengan sistem yang buas dan
bias terhadap jaminan kesejahteraan bersama.
Kesepuluh, pandangannya terhadap masyarakat
sebatas masyarakat sebagai kumpulan dari individu-individu dan meletakkan
kebebasan individu di atas segalanya. Hal ini tidak ubahnya merimbakan hukum
atas manusia yang berakal.
Kesebelas, ikatan perbuatan yang mengikat
serba bebas (liberalisme) dalam masalah aqidah, pendapat, kepemilikan, dan
kebebasan pribadi. Sehingga muncul jurang dalam antar sesama masyarakat. Yang
kaya kian kaya, yang miskin kian teraniaya.
Keduabelas, standar perilaku berupa mencari
manfaat semata yang sifatnya relatif dan kondisional. Sehingga dimana ada
peluang berlakulah tawar menawar (take and give).
Fakta Di Balik Viralnya Forum G-20,
Indonesia Dimanfaatkan Secara Masif
Forum G-20 pada faktanya adalah forum untuk
mengukuhkan ideologi kapitalis untuk terus mencengkram negeri ini. Dengan
transformasi G-8 menjadi G-20, Amerika Serikat memiliki kepentingan ingin
mengukuhkan sistem neoliberalisme kapitalisme dari sisi ekonomi politik di
dunia.
Bagi negara-negara berkembang yang terlibat
status keanggotaan G-20 salah satunya Indonesia, justru sama sekali tidak
membawa dampak terhadap perbaikan ekonomi dan lingkungan di negaranya
masing-masing, apalagi di Indonesia.
Berbagai forum dunia justru menjadi racun
bagi negara berkembang. Dengan menjadikan negara berkembang sebagai budak dari
mimpi-mimpi manis yang mereka semai, padahal mereka datang sebagai lintah yang
ingin mengeruk habis kekayaan negara berkembang.
Melalui berbagai forum resep-resep
kapitalis yang sangat frontal disosialisasikan, berbagai agenda ekonomi
perlintahan pun disusupkan dengan jabat tangan dan senyum manis, hal ini
berujung pada semakin dibenamkannya Indonesia ke dalam perangkap utang yang
kian besar. Melalui utang inilah visi dan misi kapitalisme yang merusak itu
masuk melalui regulator ulung bergelar pemerintahan pinokio, si penebar janji
tanpa realisasi.
Bagi negara pengemban kapitalis utama
seperti Amerika, forum seperti G-20 sangat penting untuk menghegemoni atau
mendominasi gagasan negara anggota untuk memuluskan berbagai agenda penjajahan
mereka di bidang ekonomi.
Slogan awal G-20 untuk mewujudkan
pertumbuhan ekonomi global yang kian kuat, seimbang, berkelanjutan, dan
inklusif tidak pernah terealisasi. Kenyataan justru menunjukkan sebaliknya.
Penjajahan terselubung yang tidak semua mata dapat melihatnya.
Ekonomi dunia semakin terancam bangkrut,
semakin mengalami ketimpangan yang parah dan eksklusivitas ekonomi kian nyata.
Semakin hari dapat kita lihat realitas menunjukkan bahwa ekonomi bukan untuk
semua manusia melainkan untuk orang-orang tertentu saja.
Sejatinya G-20 hadir dan berupaya untuk
menutup aroma busuk borok-borok ekonomi akibat penerapan kapitalisme. Oleh
karena itu, G-20 bagian dari masalah besar bangsa ini, bukan bagian dari
solusi.
Hingga pada fakta dilapangan kian jelas
bahwa kehadiran forum G-20 adalah jalan penjajahan gaya baru yang sarat
kepentingan agar Indonesia tertipu dan sukarela dimanfaatkan bagi ekspansi
industrialisasi mereka. WalLâhu a’lam. ***
Penulis, Pegiat Literasi Islam,
Selatpanjang - Riau
Posting Komentar