![]() |
Alfiah, S.Si |
Oleh : Alfiah, S.Si
Mazhab Wahabi menjadi perbincangan publik usai Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (PBNU) mendesak pemerintah Indonesia melarang paham ini.
Permintaan ini merupakan salah satu poin hasil rekomendasi eksternal dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Lembaga Dakwah PBNU yang digelar di Asrama Haji Jakarta, 25-27 Oktober 2022 (CNNIndonesia.com, 1/11/2022)
"Lembaga Dakwah PBNU merekomendasikan kepada pemerintah (dalam hal ini Kemenkopolhukam, Kemenkumham, Kemendagri, dan Kemenag) untuk membuat dan menetapkan regulasi yang melarang penyebaran ajaran Wahabiyah," demikian bunyi rekomendasi itu, seperti dikutip di laman resmi LD PBNU, pekan lalu.
Tak hanya di Indonesia, Arab Saudi pun rupanya mulai berupaya mengurangi pengaruh paham Wahabi yang telah melekat dengan negara kerajaan Islam itu selama ratusan tahun. Sejak diangkat sebagai Putra Mahkota Arab Saudi, pangeran Mohammed bin Salman (MbS) melakukan banyak reformasi. Salah satunya ingin menghapus paham Wahabi sebagai satu-satunya mazhab di negara itu.
Padahal mazhab Wahabi sudah melekat dengan Saudi karena pendiri paham ini, Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, berkontribusi terhadap pembangunan negara kerajaan tersebut (CNNIndonesia.com, 2/11/2022).
Selain itu, ajaran Wahabi juga masuk dalam sistem pemerintahan Saudi. Ajaran Salafi-Wahabi dianut oleh sekitar lima juta Muslim Sunni di Arab Saudi. Karenanya, Wahabi dikenal sebagai paham Islam paling berpengaruh di sana. Paham ini sangat melekat dengan Saudi karena ditegakkan oleh para ulama yang menjalankan peradilan dan polisi agama Saudi selama beberapa dekade. Ditambah, pemerintah Arab Saudi mengikuti tafsiran Wahabi terhadap kitab suci Al-Quran.
Ternyata rilis LDNU soal Wahabi dianulir oleh PBNU. Sekretaris Jenderal PBNU Saifullah Yusuf atau biasa dikenal Gus Ipul meluruskan pernyataan Lembaga Dakwah PBNU yang meminta pemerintah Indonesia melarang persebaran paham Wahabi tafkiri. Dia mengatakan pernyataan Lembaga Dakwah PBNU kontraproduktif dan menimbulkan beragam tafsir di tengah masyarakat (detik.com, 1/11/2022)
Gus Ipul mengatakan PBNU langsung mengeluarkan instruksi bernomor 225/PB.03/A.I.03.41/99/10/2022 yang ditandatangani Ketua Umum KH Yahya Cholil Staquf dan Sekjen. Instruksi itu meminta tidak memberikan pernyataan yang bersifat strategis lebih-lebih urusan agama sebelum mendapatkan persetujuan Rais Aam dan Ketua Umum PBNU. Dia mengatakan pernyataan lembaga belum mendapatkan persetujuan PBNU, maka perlu diabaikan karena bukan keputusan resmi perkumpulan.
Desakan agar pemerintah melarang Wahabi direspon oleh berbagai kalangan, salah satunya dari cendekiawan muslim Prof Din Syamsuddin. Dia mengatakan, semua pihak perlu mengedepankan sifat, sikap dan watak wasathiyah atau jalan tengah. Din juga mengingatkan soal pentingnya syuro atau musyawarah. Menurutnya, penting untuk menghindari sikap yang memutlakkan pemahaman. Dalam suasana saat ini, lanjut Din, semua harus mengedepankan toleransi, tasamuh, dan syuro, karena itulah sikap yang Islami (republika.co.id, 31/10/2022).
Sungguh amat disayangkan adanya seruan pelarangan kelompok Islam (mazhab) justru datang dari kelompok Islam sendiri. Padahal kita tidak bisa memaksakan keyakinan atau paham tertentu kepada benak seseorang. Selama kelompok Islam atau mazhab tersebut tidak bertentangan dengan akidah Islam atau tidak mengajarkan kesesatan harusnya tidak ada pelarangan. Ironis, Ahmadiyah dan Baha’i yang jelas-jelas sesat dilindungi, sementara HTI yang ingin menyelamatksn NKRI dengan hukum Illahi dibubarkan. Kini giliran Wahabi yang harus dilarang. Apakah umat Islam hendak digiring untuk hanya meyakini satu kelompok saja yang benar?
Dalam sistem Islam (Khilafah), negara justru menanungi semua mazhab. Karena Khilafah adalah negara bagi umat Islam di seluruh dunia, yang bisa menjadi wadah bagi mereka, dengan perbedaan latar belakang paham keagamaan dan politiknya. Karena itu, secara syar‘i, Khilafah didefinisikan sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia dalam rangka menerapkan Islam di dalam negeri dan mengemban Islam ke seluruh dunia. Khilafah juga akan menjadi pemersatu umat Islam dalam satu wadah. Dengan begitu, umat ini akan menjadi satu umat, satu negara, dan satu kepemimpinan. Dalam hal ini, Umar bin al-Khatthab pernah menyatakan:
لاَ إِسْلاَمَ إِلاَّ بِالْجَمَاعَةِ وَلاَ جَمَاعَةً إِلاَّ بِالإِمَارَةِ وَلاَ إِمَارَةَ إِلاَّ بِالطَّاعَةِ
“Tidak ada Islam tanpa jamaah (kesatuan umat); tidak ada jamaah tanpa kepemimpinan (Khilafah); dan tidak ada kepemimpinan tanpa ketaatan”
Artinya, dengan adanya imârah (kepemimpinan Khalifah) itulah jamaah (persatuan dan kesatuan) kaum Muslim di seluruh dunia akan bisa diwujudkan. Nash al-Quran juga menyatakan:
إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ
“Sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu dan Aku adalah Tuhan kalian, maka sembahlah Aku” (QS al-Anbiya’ [21]: 92).
Umat Islam di seluruh dunia wajib bersatu. Meski, kita tidak bisa menafikan bahwa umat Islam memiliki berbagai mazhab keislaman, baik dalam konteks akidah maupun hukum. Keberagaman pemahaman ini merupakan keniscayaan yang tidak terelakkan, karena dua faktor yang sama-sama dibenarkan oleh Islam; (1) faktor nash, yang berpotensi untuk dipahami secara berbeda; (2) faktor intelektual, yang berpotensi untuk memahami nash secara berbeda satu sama lain. Dengan kenyataan ini, bukan berarti persatuan dan kesatuan umat Islam di seluruh dunia tidak bisa diwujudkan. Kesatuan umat bisa diwujudkan kalau ada negara dan negara tersebut tidak berpihak pada mazhab tertentu, tetapi mengayomi semua mazhab, bahkan agama, etnik dan bangsa.
Ini artinya, negara tidak boleh mengadopsi pemikiran mazhab dan furû’ (cabang) akidah tertentu. Karena dengan diadopsinya pemikiran mazhab dan furû’ akidah tertentu, berarti negara akan memaksa orang yang telah memeluk Islam untuk memeluk pemikiran akidah tertentu. Tentu ini lebih tidak boleh, karena memaksa orang kafir—yang notabene belum memeluk Islam—untuk memeluk Islam saja tidak boleh. Allah Swt. berfirman:
لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّيْنِ
"Tidak ada paksaan dalam (memeluk) agama Islam." (QS al-Baqarah [2]: 258).
Di samping itu, jika ini ditempuh oleh negara, maka kebijakan negara ini pasti akan menimbulkan haraj (kesulitan) di tengah-tengah kehidupan umat, sementara hal ini juga tidak dibenarkan dalam Islam. Allah Swt. berfirman:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
"Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian suatu kesempitan dalam agama". (QS al-Hajj [22]: 78).
Demikian halnya, seluruh pemikiran dan hukum yang kemudian menjadi undang-undang juga harus dibangun berdasarkan prinsip, bahwa semuanya itu merupakan pemikiran dan hukum Islam, bukan pandangan kemazhaban. Meski pada awalnya pemikiran dan hukum tersebut diambil dari mazhab fikih tertentu, ketika diadopsi oleh negara, negara mengadopsinya bukan sebagai pandangan mazhab fikih tertentu, melainkan sebagai hukum syariat. Setelah itu, hukum tersebut akan menjadi hukum positif dan mengikat semua penganut mazhab.
Karena itu, dengan negara tidak bermazhab, sehingga mazhab berkembang sedemikian rupa, tidak berarti bahwa tidak ada kepastian hukum di dalam negara. Karena, hukum yang diterapkan hanya satu. Tetapi, untuk tujuan dakwah dan pendidikan, negara tetap akan membuka diajarkannya hukum lain, selain yang diadopsi oleh negara.
Dengan begitu, negara akan tetap bisa mengayomi semua mazhab fikih, termasuk membuka lebar-lebar pintu ijtihad. Umat Islam, termasuk para ulama dan intelektualnya, juga tidak akan kehilangan peluang untuk terus berkarya, menyampaikan dan mengembangkan mazhabnya. Inilah pelajaran yang bisa diambil dari sikap Imam Malik ketika menolak keinginan Khalifah Ja‘far al-Manshur untuk menjadikan kitabnya, al-Muwattha’, sebagai undang-undang yang diadopsi oleh negara. Penolakan ini tentu bukan karena beliau menolak formalisasi fikih atau syariah, tetapi beliau menolak untuk menjadikan Khilafah sebagai negara mazhab Maliki. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.***
Penulis pegiat literasi Islam
Posting Komentar