Menyoal Jor-joran Pembangunan Infrastrukstur

Alfiah, S.Si


Oleh : Alfiah, S.Si


ERA pemerintahan Jokowi dipuji-puji oleh pendukungnya karena banyak infrastruktur yang terbangun. Sampai-sampai Jokowi dijuluki Bapak Infrastruktur. Namun realitasnya, banyak infrastruktur yang terbengkalai dan nir-manfaat. Padahal pembangunannya sudah merogoh dalam kas APBN dan menambah utang negara. Cicilan utang pembangunan mesti dibayar, sementara infrastrukturnya malah ambyar. Apalagi di tengah kondisi resesi saat ini.


Hal inilah yang dikritisi Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil terkait beberapa proyek yang dijalankan pemerintah. Dia memberikan kritik pedas soal pembangunan LRT Palembang dan ibu kota negara (IKN) baru. Menurutnya IKN bisa menjadi sebuah kota sepi dan mengulang beberapa pengembangan kota baru di negara lain. Sementara itu, LRT Palembang menurutnya menjadi proyek transportasi yang gagal perencanaannya dan kini malah sepi.


Ridwan Kamil melontarkan kritikan keras terhadap LRT Palembang. Dia menyoroti kegagalan pengambilan keputusan yang menyebabkan transportasi massal itu kini sepi. Menurutnya, kegagalan pengambilan keputusan LRT Palembang terjadi karena dasar perencanaannya dilakukan secara politis. Ridwan Kamil mengatakan keputusan membuat LRT Palembang didasarkan atas hajatan besar Asian Games 2018. Padahal, jika saja melihat dari sisi perencanaan penumpangnya menurut Ridwan Kamil, LRT Palembang tidak layak untuk dikembangkan. Dia pun menyinggung dana besar hingga Rp 9 triliun yang dikeluarkan sementara proyeknya malah gagal.


Hal ini diungkapkan Ridwan Kamil merespons permintaan pengembang properti di daerah Cikarang yang ingin moda transportasi MRT segera dibangun di kawasan itu untuk disambungkan ke Jakarta.


Soal permintaan itu, Ridwan Kamil enggan terburu-buru memprakarsai MRT di Cikarang. Dia meminta para pengembang memastikan terlebih dahulu apakah potensi penumpang di sekitar wilayah timur Jakarta itu besar atau tidak.


Ancaman sepi juga menghantui IKN. Menurut Ridwan Kamil, hal itu bisa terjadi apabila IKN tidak bisa menarik populasi masuk ke dalam kota dan hanya mengandalkan pegawai pemerintahan sebagai populasi utamanya. Menurutnya apabila IKN hanya diisi oleh PNS maka akan sangat sulit sekali kawasan itu bisa menjadi sebuah kota yang sukses dan hidup.


Ridwan Kamil pun menyebutkan beberapa contoh pembangunan ibu kota baru yang gagal di beberapa negara. Mulai dari Brazil hingga Malaysia.

Jalau cuma mengandalkan populasi PNS kotanya akan sepi seperti Canberra, seperti Brasilia, sepi seperti di Myanmar seperti ibu kotanya. Putrajaya dulu didesain sangat wah, namun saat ini ujungnya mereka hanya jadi kota tujuan commuting dari Kuala Lumpur.


Belum lagi banyak pembangunan bandara yang unfaedah. Bandara JB Soedirman di Purbalingga, Bandara Ngloram di Blora, Wiriadinata di Tasikmalaya, dan Kertajati di Majalengka, tidak lagi memiliki jadwal penerbangan. Pembangunan bandara-bandara ini pun disebut tanpa perhitungan.


Para ahli dan pengamat sudah menyatakan keberadaan bandara-bandara itu yang tidak akan banyak faedahnya. Sekjen Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Bayu Sutanto, misalnya, mengatakan bandara tersebut merupakan rute sepi.


Pernyataan senada disampaikan pengamat penerbangan dari Arista Indonesia Aviation Center (AIAC) Arista Atmadjati, bahkan dinyatakan tidak perlu bagi kemaslahatan umum.  Sedangkan Djoko Setijowarno selaku pengamat penerbangan menyatakan, jika melihat dari kebutuhan, pembangunan bandara tersebut memang dirasa tidak perlu. “Sebenarnya enggak layak, tapi tetap dibangun,” katanya. (CNBC Indonesia).


Selain pembangunan bandara-bandara baru yang berujung sepi, pembangunan proyek Kereta Cepat Jakarta—Bandung (KCJB) juga mengalami masalah dalam pembiayaannya. Sesuai proposal dari Pemerintah Cina, megaproyek ini mulanya diperhitungkan membutuhkan biaya Rp86,5 triliun dan “haram” menggunakan duit APBN.  Namun kini, biaya proyek membengkak hingga triliunan rupiah dan menjadi boleh didanai uang negara. Proyek ini diketahui telah mendapatkan suntikan dana Penanaman Modal Negara (PMN) senilai Rp4,2 triliun pada 2021, bahkan lebih.


Terbaru, Presiden Jokowi bakal mengucurkan uang rakyat ke proyek kerja sama Indonesia-Cina itu senilai total Rp7,3 triliun. Penggunaan uang APBN untuk mendanai proyek ini sejatinya mengingkari janji Jokowi lantaran kepala negara sebelumnya berkali-kali menegaskan kalau proyek ini tidak akan menggunakan uang pajak sepeser pun.


Ironisnya, dari beberapa pembangunan infrastruktur tersebut, kondisi menyakitkan tampak di depan mata, seperti hilangnya nyawa rakyat akibat infrastruktur jalan umum yang buruk yang terjadi berulang kali tanpa ada perhatian pemerintah. Faktanya memang masih sangat banyak wilayah yang mendesak dibangunkan infrastruktur jalan umum, tetapi pemerintah masih mengabaikan hal tersebut hingga menjadi petaka bagi masyarakat. Lebih miris lagi, pemerintah malah “ngebut” membangun infrastruktur jalan berbayar (tol) yang jelas-jelas bukan untuk kepentingan rakyat.


Apabila ditelaah secara mendalam, biang keladi kondisi miris ini adalah penerapan sistem kapitalisme. Sistem ini melahirkan konsep good governance yang membuat negara beralih fungsi sebagai pelayan korporasi. Akibatnya, berbagai proyek pembangunan infrastruktur dijalankan, tetapi tanpa perhitungan maupun prioritas, yang penting apa yang dikehendaki korporasi dapat terlaksana. 


Contohnya pembangunan jalan tol yang kini pembangunannya dikebut oleh pemerintah adalah untuk melayani korporat dalam memperoleh cuan, sedangkan nasib rakyat yang sangat membutuhkan infrastruktur jalan umum yang layak tetap diabaikan pemerintah. Jalan umum di daerah yang tidak menghasilkan materi bagi korporasi, menurut konsep good governance pembangunannya bukanlah menjadi prioritas.


Hal ini tentu berbeda dalam sistem Islam. Dalam Khilafah (Negara Islam), pembangunan infrastruktur merupakan bentuk pelayanan negara kepada publik. Khalifah akan memprioritaskan pembangunan infrastruktur yang mendesak dibutuhkan oleh publik yang jika pembangunannya ditunda akan menimbulkan dharar (bahaya) bagi publik.


Jalan umum yang rusak parah, jembatan di atas sungai yang rusak menghubungkan dua desa, belum adanya akses jalan menuju rumah sakit yang dapat menimbulkan dharar pada publik, bahkan sampai terjadi hilang nyawa di perjalanan, tidak boleh ditunda lagi untuk segera dibangunkan infrastruktur tersebut. 


Khalifah harus mencegah terjadinya dharar karena Nabi saw. bersabda, “Tidak ada dharar (bahaya) dan tidak ada memudaratkan (membahayakan)—(baik diri sendiri maupun orang lain).” (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan Ad-Daruquthni)


Dalam Islam, prinsip bahwa perencanaan wilayah yang baik akan mengurangi kebutuhan transportasi.  Ketika Baghdad dibangun sebagai ibu kota, setiap bagian kota direncanakan hanya untuk jumlah penduduk tertentu, dan di situ dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan.  Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah juga tidak ketinggalan.  Sebagian besar warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya serta untuk menuntut ilmu atau bekerja, karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar.


Negara membangun infrastruktur publik dengan standar teknologi terakhir yang dimiliki.  Teknologi yang ada termasuk teknologi navigasi, telekomunikasi, fisik jalan hingga alat transportasinya itu sendiri. Navigasi mutlak diperlukan agar perjalanan menjadi aman, tidak tersesat, dan bila ada masalah, dapat ditolong oleh patroli khilafah.  Untuk itulah kaum muslimin belajar astronomi dan teknik membuat kompas sampai ke Cina, dan mengembangkan ilmu pemetaan dari astronomi yang teliti.  Ratusan geografer menjelajah seluruh penjuru dunia dan membuat reportase negeri-negeri yang unik.  Hasilnya, perjalanan haji maupun dagang baik di darat maupun di lautan menjadi semakin aman.


Teknologi dan manajemen fisik jalan juga tidak ketinggalan.  Sejak tahun 950, jalan-jalan di Cordoba sudah diperkeras, secara teratur dibersihkan dari kotoran, dan malamnya diterangi lampu minyak.  Baru dua ratus tahun kemudian, yakni 1185, baru Paris yang memutuskan sebagai kota pertama Eropa yang meniru Cordoba.


Yang menarik, hingga abad 19 Khilafah Utsmaniyah masih konsisten mengembangkan infrastruktur transportasi ini.  Saat kereta api ditemukan di Jerman, segera ada keputusan Khalifah untuk membangun jalur kereta api dengan tujuan utama memperlancar perjalanan haji.  Tahun 1900 M Sultan Abdul Hamid II mencanangkan proyek “Hejaz Railway”.  Jalur kereta ini terbentang dari Istanbul ibu kota Khilafah hingga Mekkah, melewati Damaskus, Jerusalem dan Madinah.  Di Damaskus jalur ini terhubung dengan “Baghdad Railway”, yang rencananya akan terus ke timur menghubungkan seluruh negeri Islam lainnya.  Proyek ini diumumkan ke seluruh dunia Islam, dan umat berduyun-duyun berwakaf. Sayangnya proyek ini terhenti karena Khilafah pada akhirnya runtuh pada tahun 1924 oleh Mustafa Kemal.


Jelaslah bahwa pembangunan infrastruktur seyogyanya ditujukan untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk keuntungan kapital semata. Hal ini akan terealisasi sempurna dengan sistem Islam. Wallahu a’lam bi shawab.***



Penulis pegiat literasi Islam

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama